MONUMEN PERS NASIONAL SURAKARTA - SOLO

Dalam sejarah, nama Solo cukup dikenal sebagai salah satu basis perjuangan pemuda dan seluruh rakyat Indonesia menentang kehadiran kaum Kolonialis di bumi nusantara. Barangkali Solo sebagai pusat dua buah Kerajaan di Jawa yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran lebih memiliki basis masa dibanding daerah-daerah lainnya. Memang kalau dibandingkan dengan Yogyakarta yang juga merupakan pusat Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman, solo masih kalah peran terutama dalam hal perjuangan fisik. Akan tetapi eksistensi dan kehidupan solo tetap tidak dapat dipisahkan dari sejarah.

Solo ternyata telah menghasilkan banyak catatan sejarah perjuangan baik perjuangan fisik maupun non fisik. Salah satu peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan yaitu bahwa Solo adalah Kota Kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peristiwa ini dimulai ketika peralihan ibukota R.I dari Jakarta ke Yogyakarta. Sebelum terbentuknya PWI, sebenarnya sudah ada organisasi yang mewadahi para wartawan yaitu Persatuan Djurnalistik Indonesia (PERDI) yang mandeg kegiatannya ketika Jepang masuk Indonesia.

Para wartawan seperti Soemanang, Soedarjo Tjokrosisworo, BM. Diah dan rekan-relannya akhirnya mempunyai gagasan baru untuk mendirikan sebuah wadah yang lebih merangkul semua wartawan di Indonesia. Mereka lalu mengadakan Konggres di Solo, tepatnya di gedung Sositet Sasono Suko, Mangkunegaran. Konggres ini berhasil membuahkan keputusan untuk mendirikan PWI dan benar-benar teralisasi pada tanggal 9 Pebruari 1946. Tanggal tersebut hingga kini tetap dipakai sebagai tonggak peringatan kelahiran PWI yang lebih dikenal sebagai Hari Pers Nasional. Sedangkan gedung Sositet Sasono Suko saat ini difungsikan sebagai Monumen Pers Nasional.


Monumen Pers Nasional terletak di Jl. Gajah Mada No. 59 Surakarta. Dahulu dikenal dengan sebutan “Sociteit” dan pada tanggal 9 Februari 1946 dipergunakan tempat menyelenggarakan Kongres Pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kemudian ditempati Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Surakarta hingga tahun 1977.

Pasca likuidasi Departemen Penerangan RI status Monumen Pers Nasional berada dalam Badan Informasi dan Komunikasi Nasional. Setelah Lembaga Informasi Nasional diintegrasikan ke dalam Departemen Komunikasi dan Informatika pada tahun 2005 maka Monumen Pers Nasional menjadi satuan kerja dibawah Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.06/PER/M.KOMINFO/ 03/2011 tanggal 16 Maret 2011 diputuskan Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Monumen Pers nasional terdiri dari tiga unit gedung dengan tambahan lantai atas pada bangunan induk. Sebagai monumen yang sekaligus berfungsi sebagai museum, gedung ini banyak menyimpan dan mengoleksi benda-benda bersejarah peninggalan wartawan pejuang tempo doeloe. Di dalam Monumen Pers tersimpan naskah dan dokumen kuno yang merupakan bukti-bukti sejarah perjalanan pers nasional dan perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, kemerdekaan, hingga zaman pemerintahan saat ini.

Ada mesin ketik kuno, foto tustel kuno, penerbitan-perbitan kuno, Pemancar Radio saat perang kemerdekaan, koleksi foto, koran, majalah, pengabdian wartawan dan lain-lain. Dewasa ini sesuai dengan fungsinya, monumen Pers Nasional Solo setiap hari selalu menerima kiriman berupa koran Harian, Mingguan, Majalah dari Bulletin dari perbitan surat kabar. Untuk menanganinya, di MonumenPers ini telah ada seksi khusus, yaitu seksi Laboratorium dan Dokumentasi. Disini pula dapat dijumlai ribuan buku yang disimpan sangat rapi di ruang perpustakaan. Pengelolaan Monumen Pers Nasional Solobeserta segala isinya ditangani oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional dengan Depertemen Penerangan R.I. sebagai instansi penanggung jawab. Oleh karena itu Monumen Pers Nasional tepat menjadi objek wisata pendidikan.


Sejak pertengahan Maret 2009 lalu, Monumen Pers Nasional kembali mengaktifkan keberadaan media baca sebagai sarana diseminasi informasi untuk masyarakat. Media baca yang disebut “Monggo Maos” ini dikelola oleh Seksi Pelayanan Informasi Monumen Pers Nasional. Staf Seksi Pelayanan Informasi setiap pagi secara bergiliran mengganti koran yang dipasang.

Sementara ini koran yang dipasang yaitu Solo Pos dan Suara Merdeka, dengan harapan masyarakat sekitar dapat memperoleh informasi terkini mengenai kota Solo pada khususnya, dan wilayah Soloraya pada umumnya. Keberadaan media baca “Monggo Maos” ini dirasa cukup efektif, terbukti dengan banyaknya masyarakat yang memanfaatkan media tersebut untuk memperoleh informasi, baik tingkat lokal maupun internasional dengan segmen berita yang beragam. Tidak hanya masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi yang memanfaatkan “Monggo Maos”, namun juga tukang becak dan pemulung. Hal ini membuktikan bahwa setiap orang membutuhkan informasi dan berita untuk memperkaya pengetahuan, tanpa peduli status sosial maupun tingkat pendidikan mereka.

Di Monumen Pers Nasional sendiri banyak mendapat kunjungan dari para mahasiswa antara lain dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Diponegoro Semarang, dll. Selain mendapatkan informasi mengenai Monumen Pers Nasional untuk bahan studi mereka, para mahasiswa tersebut juga berkesempatan mencoba fasilitas Media Center yang ada di Monumen Pers Nasional. Sejak bulan Maret lalu, Media Center mulai dibuka untuk umum dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 14.30 WIB pada hari kerja. Keberadaan Media Center ini sangat bermanfaat dan efektif untuk mendukung keberadaan Monumen Pers Nasional sebagai instansi Pemerintah yang berperan besar dalam proses diseminasi informasi. Monumen Pers Nasional merupakan pusat konservasi dan preservasi jutaan eksemplar koran dan majalah kuno yang menjadi referensi bagi akademisi khususnya di bidang jurnalistik dan pers.

Sumber : http://restu.student.fkip.uns.ac.id/